Dalam kitab suci al-Qur’ân disebutkan:
“masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulû fi
al-silmi kâffah)” (QS al-Baqarah [2]:208). Di sinilah terletak perbedaan
pendapat sangat fundamental di antara kaum muslimin. Kalau kata
“al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Islam, dengan sendirinya harus
ada sebuah entitas Islam formal, dengan keharusan menciptakan sistem
yang Islami. Sedangkan mereka yang menterjemahkan kata tersebut dengan
kata sifat kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak
perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem Islami.
Bagi
mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu digunakan penterjemahan
kata al-silmi itu dengan kata Islami, dan dengan demikian mereka terikat
kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili keseluruhan perwujudan
ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Hal
ini membawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dapat
mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena itu, dapat
dimengerti mengapa ada yang menganggap penting perwujudan “partai
politik Islam” dalam kehidupan berpolitik. Tentu saja, demokrasi
mengajarkan kita untuk menghormati eksistensi parpol-parpol Islam,
tetapi ini tidak berarti keharusan untuk mengikuti mereka.
Di lain pihak kita juga harus
menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem
Islami tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang tidak
beragama Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini
juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, sebuah
sistem Islami otomatis membuat warga negara non-muslim berada di bawah
kedudukan warga negara beragama Islam, alias menjadi warga negara kelas
dua. Ini patut dipersoalkan, karena juga akan berdampak pada kaum
muslimin yang tidak menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin
seperti ini, -sering disebut muslim nominal atau abangan-, tentu akan
dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi
anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajaran Islam secara
penuh, yang juga sering dikenal dengan nama “kaum santri”.
Apabila terdapat pendapat tentang
perlunya sebuah sistem Islami, mengapa lalu ada ketentuan-ketentuan
non-organisatoris yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh
kitab suci al-Qur’ân? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk
dianggap sebagai “muslim yang baik”, sebagaimana disebutkan dalam
ayat-ayat di kitab suci al-Qur’ân, yaitu menerima prinsip-prinsip
keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka
yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum miskin dan
sebagainya) menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika
menghadapi cobaan dan kesusahan.
Kesetiaan kepada profesi itu,
digambarkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan istilah, “mereka yang
memenuhi janji yang mereka berikan” (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ
‘âhadû) (QS al-Baqarah [2]: 177). Adakah janji yang lebih nilainya
daripada janji kepada profesi masing-masing, yang disampaikan ketika
membacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?
Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan
oleh seorang muslim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami,
dengan sendirinya tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut
ajaran Islam. Dengan demikian, mewujudkan sebuah sistem Islami tidak
termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap “muslim yang taat”. Ini
menjadi titik sengketa yang sangat penting, karena di banyak tempat
telah tumbuh paham yang tidak mementingkan arti sistem.
Maka ketika NU (Nahdlatul Ulama)
menyatakan deklarasi berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa
menyebutkan bahwa partai tersebut adalah partai Islam, penulis dihujani
kritik tajam selama berbulan-bulan dari mereka yang menginginkan partai
tersebut dinyatakan sebagai partai Islam. Ini dilakukan oleh mereka yang
tidak menyadari, bahwa NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya
berbeda-beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak
mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi terhadap
teks keagamaan).
Dalam Muktamar NU tahun 1935 di
Banjarmasin, muktamar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi
kaum muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama Hindia
Belanda (sekarang Indonesia) yang diperintah oleh orang-orang non-muslim
(para kolonialis Belanda)? Jawab muktamar saat itu; wajib. Karena di
kawasan tersebut, yang di kemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam
dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga bangsa secara
bebas, dan dahulu ada kerajaan-kerajaan Islam di kawasan itu. Dengan
demikian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai perbedaan cara
dan pendapat di antara kaum muslimin di kawasan tersebut.
Diktum Muktamar NU di Banjarmasin
tersebut, memungkinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden
Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian pula, pembentukan
badan-badan formal Islam bukanlah satu-satunya medium bagi perjuangan
Islam untuk menerapkan ajaran di bumi nusantara. NU yang resminya
sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik,
dapat saja menyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di
kawasan tersebut melalui Golkar (Golongan Karya) yang bukan sebagai
organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan antara yang menganut
paham lembaga Islam sebagai sistem di satu pihak, dan mereka yang tidak
ingin melaksanakan perjuangan melalui jalur-jalur resmi Islam, dihargai
dan diterima oleh para pendukung Ibn Taimiyyah2 beberapa abad yang lalu.
Lalu, bagaimana dengan adagium yang
dikenal Islam; “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa
kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa
bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah)3.
Bukankah ini sudah menunjukkan adanya sebuah sistem, maka jawabannya
bahwa tidak ada sesuatu dalam ungkapan tersebut yang menunjukkan secara
spesifk adanya sebuah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem
diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut, asal ia memperjuangkan
berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.
Karena itu penulis berpendapat, dalam
pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti
tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini penting
untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pihak-pihak yang
ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang-Undang Dasar) kita.
Dengan klaim mendirikan negara untuk kepentingan Islam jelas
bertentangan dengan demokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan
hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di
hadapan Undang-Undang (UU) di pihak lain.
MEMORANDUM, 22 Juli 2002
Comments
Post a Comment