Walaupun hampir semua orang mengutarakan
pengakuan lahiriyah akan adanya peranan bagi agama dalam pembangunan
kita, ternyata masih cukup besar juga keraguan yang terkandung dalam
hati: apakah memang benar demikian halnya?
Perlakuan Ganjil
Skeptisisme itu muncul karena beberapa
sebab. Ada yang karena sulitnya pembuktian secara ilmiah akan peranan
itu, walaupun diakui juga bahwa bagaimana pun juga agama tentu
mempengaruhi pola tingkah laku pemeluknya, termasuk dalam masa di mana
mereka sedang membangun. Kesulitannya adalah bagaimana mengenal agama
sebagai pembentuk sikap hidup yang membangun itu sendiri. Kesulitan ini
akhirnya menumbuhkan keragu-raguan akan adanya hubungan langsung antara
agama dan pembangunan.
Adakalanya keraguan timbul dari sikap
yang diperlihatkan oleh pemuka-pemuka agama dan para pengikut mereka,
yang sedikit sekali menampakkan pemahaman yang nyata dan pengertian yang
mendalam dan hakekat proses membangun. Apa yang mereka ributkan, apa
yang mereka canangkan dan apa yang menjadi perhatian utama mereka hampir
selamanya tidak memiliki kaitan dengan persoalan-persoalan pokok
pembangunan. Kalaupun ada kaitannya dengan pembangunan, umumnya hanya
dengan soal-soal sampingan, dan terutama dengan ekses-ekses moral yang
dibawakan oleh proses membangun itu sendiri.
Perlakuan Ganjil
Tidak heranlah jika dari skeptisisme
yang tidak pernah terucapkan itu lalu timbul perlakuan yang ganjil
terhadap agama: diakui kehadirannya, tetapi tidak dibutuhkan dalam
kenyataannya. Dari sikap ini tersusunlah strategi ganda untuk meminta
legitimasi dari agama di mana dapat diperoleh, dan tidak menghiraukan
pendapat agama jika legitimasi itu tidak mungkin diperoleh.
Contoh paling jelas dalam hal ini adalah
pelaksanaan KB. Rumusan KB sebagai usaha penyejahteraan bangsa diminta
legitimasi dari agama, tetapi pelaksanaan bagian-bagian yang menyimpang
dari ajaran agama dalam program KB tetap berlangsung juga. Di samping
firman-firman suci yang dipampangkan di perempatan-perempatan jalan
untuk menunjukkan perkenan agama kepada KB, segala macam cara untuk
memasang spiral dengan paksaan atau tidak, secara halus atau kasar,
tetap dipakai juga.
Kepada para agamawan ditunjukkan wajah
ketundukan, kepada para kolega yang meninjau dari luar negeri
diperagakan angka 90% akseptor di kabupaten Ponorogo yang telah berhasil
di”spiral”kan. Si peninjau menjadi kagum akan keberhasilan strategi
berganda itu, dan terungkaplah kekaguman itu dalam komentar: “Anda
ternyata telah berhasil by passing para agamawan kolot, sedang Indira
Gandhi harus membayar mahal untuk itu di India.”
Sebenarnya para agamawan sendiri dapat
memperjelas arti agama bagi pembangunan kepada rakyat, jika mereka mau
memperhatikan sungguh-sungguh persoalan-persoalan pokok yang dihadapi
oleh pembangunan itu sendiri. Perhatian itu sudah tentu harus dimulai
dari pemahaman yang benar akan keadaan yang dialami oleh mayoritas
bangsa dewasa ini.
Para agamawan harus mengerti bahwa laju
proses pemiskinan berlangsung, karena kesenjangan yang semakin hari
semakin kentara antara yang kaya dan yang miskin. Kontras menyolok
antara pola konsumsi mewah di tingkatan atas dan ketidak mampuan
memenuhi kebutuhan pokok di tingkatan bawah yang luas semakin hari
semakin nyata saja.
Belum lagi perbedaan pendapat tentang
strategi pemenuhannya, alokasi anggaran yang disediakan untuk
masing-masing kebutuhan dan seterusnya. Sementara itu arus penumpukan
sumber-sumber ekonomis utama di tangan sejumlah kecil orang akan
berakibat bagi kehidupan masyarakat yang semakm pincang.
Pengertian akan keadaan di atas jika
dihayati dengan sebenar-benarnya oleh para agamawan, akan membawa mereka
kepada panggilan moral yang bersifat luas dan dinamis, yang akan
membawakan pula dimensi-dimensi baru ke dalam tugas mereka dalam
kehidupan masyarakat.
Untuk agamawan yang hidup di kota-kota
besar, dimensi-dimensi baru itu tidak akan disinggung, karena tidak
termasuk kandungan tulisan ini. Bagi para agamawan yang tinggal dan
berkecimpung dalam kehidupan desa, dimensi-dimensi baru itu akan
berbentuk kerja-kerja berikut:
- mengajak rakyat untuk merumuskan sendiri apa saja yang jadi kebutuhan pokok mereka
- menyadarkan masyarakat secara keseluruhan akan bahaya latent yang terkandung dalam proses kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin
- mengajak masyarakat secara keseluruhan untuk menghentikan proses pemusatan penguasaan sumber-sumber ekonomi utama yang berupa modal, tanah dan ketrampilan teknis di tangan sejumlah kecil anggota masyarakat saja. Proses itu justru harus dibalikkan, karena ia bertentangan dengan tujuan perataan kemakmuran, keadilan dan perikemanusiaan. Lagi pula, proses pemusatan sumber-sumber ekonomis utama inilah yang menjadi penyebab adanya kesenjangan dalam pola kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya menjadi penyebab pula dari proses pemiskinan mayoritas bangsa.
Terserah kepada para agamawan, mampukah
mereka merelevansikan arti agama mereka bagi pembangunan di desa dengan
cara membawa dimensi-dimensi baru di atas?
Comments
Post a Comment