Kehidupan dalam Bentuk Miniatur yang Indah
Abdurahman Wahid (Gus Dur), dikenal sebagai tokoh yang menggeluti
berbagai bidang, mulai dari bidang-bidang ke’Kyai’an, sampai pada bidang
‘Pelawak’an. Barangkali ‘aneh’, jika putra Tebuireng ini
meng-ekspresikan dirinya dalam wajah per’seni’an di Indonesia, sementara
itu, dia harus bergumul secara tuntas dengan kitab-kitab kuningnya.
Tetapi jika kita telusuri fikirannya, maka, kesan ‘aneh’ itu justru
menjadi sebaliknya, termasuk pandangan-pandangan tentang ‘seni’ itu
sendiri, pada umumnya, dan khususnya pandangan Islam terhadap kesenian
tersebut. Tentu saja, hal demikian itu tampaknya sangat liberal. Dan
sekali lagi, pandangan jernih terhadap pemikiran Gus Dur, justru membuka
wawasan kita, terhadap penyempitan-penyempitan, atau batasan-batasan
formal yang justru sering kita ciptakan sendiri.
Masalah keterkaitan Islam dengan dunia seni, sebenarnya banyak telah
diperbincangkan, sebagaimana bisa kita telaah dalam buku-buku sejarah
kesenian, ensiklopedia utama dan pengantar pameran dan pertunjukkan
kesenian Islam. Abdurrahman Wahid, memandang hal ini sebagai hal yang
perlu untuk dihubungkan kembali keterkaitan Islam dengan dunia seni.
Menurutnya, pembahasan yang demikian itu akan memperoleh ketuntasan dan
pengertian yang mendalam akan kaitan sebenarnya antara Islam dan seni
“Dibalik gambaran sepintas dan masih bergerak dipermukaan, yang kita
miliki selama ini.”
Menurut Gus Dur ini, ada dua aspek dalam kaitan tersebut. Pertama,
belum jelasnya pembagian wilayah antara seni dan agama dalam Islam,
termasuk ‘pembidangan’ antara wilayah kesenian Islam dan kesenian yang
bukan Islam. Kedua, kaitan antar ajaran Islam disatu fihak dan
pandangannya tentang seni di fihak lain.
Gus Dur mengamati hal itu dari berbagai pembicaraan orang tentang
hubungan Islam dan seni secara dangkal, yang sama sekali tidaklah
memberikan kepuasan dalam melihat permasalahannya sebagai suatu yang
patut diperhatikan. Disamping akibat dalam ‘kebijaksanaan kesenian’,
hampir-hampir masyarakat muslim tidak pernah merumuskan cara untuk
‘menangani’ masalah-masalah yang timbul dari kedua aspek di atas.
Bukti-Bukti Penting
Sebenarnya, kesenian Islam telah mendapatkan tempatnya yang penting,
hal demikian terbukti dalam dua kenyataan. Pertama, kekayaaan warisan
yang ditinggalkan dari masa lampau, dan kemampuannya untuk tetap
mengembangkan diri di saat ini. Mungkin contoh terbaik-baik kenyataan
saat ini adalah ‘forum’ berikut: Antara lain, festival kesenian Islam
yang diselenggarakan di London beberapa tahun yang lampau dan di
beberapa kota Amerika Serikat. Disamping juga banyaknya benda-benda seni
Islam di museum-musium utama dunia, serta berbagai proyek untuk member
kesaksian kemegahan kesenian Islam (pemugaran masjid-masjid kuno,
pelestarian kesenian ornamental yang sudah turun-temurun dianggap
sebagai kesenian tradisional dan pemutasan perhatian pada kerja mencipta
di bidang kesenian). Kedua, seni merupakan wahana sangat penting dalam
pengembangan cara-cara masyarakat muslim mengahayati dan mengamalkan
ajarannya seperti terlihat dalam pengembangan ‘seni tari’ khusus untuk
menunjukkan kedambaan para sufi akan pendekatan total kepada Allah
(Taqaruub Ilalaah) yang dilakukan kaum Darwiyah di Turki. Dan contoh
lain dari kesenian sebagai wahana peribadatan ini adalah seni baca
Al-Qur’an yang begitu luas tersebar di seluruh penjuru dunia.
Dalam bidang-bidang kesusastraan, menurut Gus Dur, Kyai yang seniman
ini, juga menjadi wahana peribadatan, misalnya melalui berbagai jenis
upacara keagamaan yang bersifat ‘pagelaran lirik’ yang sangat indah,
baik dalam bentuk seni universal yang sangat indah (mawalid, shalawat,
madih) maupun ekspressi local, seperti suluk dan tembang yang
menggunakan bahasa local. Belum lagi kalau diperhatikan cerita-cerita
rakyat yang berhubungan dengan tokoh mitologi Islam. Gus Dur, juga
melihat pemanfaatan musik untuk sarana peribadatan, seperti qabus,
misalnya. Sedangkan pada seni rupa, mengalami perkembangan yang sama:
Kaligrafi Arab yang menyangga ritus keagamaan dan ornamen dinding
masjid-masjid kuno serta seni lukis yang bersifat ilustratif dalam buku
do’a orang-orang sufi, adalah bukti tak terbantah dari kemajuan seni
rupa dalam Islam.
Keterbatasan seni rupa patung, menurut Kyai ini, diganti pengembangan luar biasa dalam arsitektur Islam.
Kehidupan Seni Islam Menghadapi Persoalannya Sendiri
Walaupun demikian luas lingkup penghayatan dan pengalaman agama dalam
kesenian masyarakat agama dalam kesenian masyarakat-masyarakat muslim,
dengan heteroginitas yang luar biasanya besarnya, dan kekayaan variasi
ekspresi yang seolah-olah tak terbilang, “kehidupan seni dalam Islam
menghadapi persoalannya sendiri”. Drama misalnya, sangat sulit
berkembang dalam bentuk kesenian, karena sempitnya ruang gerak bagi para
seniman dan para pekerja drama untuk membahas masalah-masalah pokok
kehidupan manusia. Nilai-nilai yang harus ditarik langsung dari
keabsahan ajaran dan kepatutan moral agama, disamping pembatasan serupa
atas bentuk-bentuk ekspresifnya (wanita tak boleh melakukan pagelaran
panggung, misalnya) merupakan hambatan besar perkembangan drama dalam
Islam. Keadaan itu pada intinya berarti kecenderungan kata ketika dalam
penyajian dramanya, tidak akan memungkinkan munculnya kreativitas yang
benar-benar ekspresif dalam diri pengarang, pengarah, maupun para pemain
drama. Seni lukis juga menghadapi kesulitan serupa, karena pola-pola
bentuk dan penampilan benda yang boleh diangkat ke permukaan kulit, kain
dan kertas telah ditentukan secara formal. (Terlepas dari kenyataan
bahwa istana-istana perburuan para khalifat dinasti Ommyad di Syiria
dihiasi dengan lukisan wanita telanjang, yang lebih merupakan penerusan
seni lukis Byzantium daripada ekspresi Islam dalam seni lukis).
Sensualitas dan naluri erotic adalah bagian inheren dalam diri
manusia, dan seni mau tidak mau harus ‘merekamnya sebagai ekspresi
visual’, padahal sennsualitas dan hal-hal erotis justru lapangan yang
paling diatur oleh Islam. Penyimpangan terhadap kaidah moral adalah
kenyataan hidup yang berjalan massif (luas) dalam sejarah umat manusia,
terlepas dari harapan utopis agama, bahwa ia akan ditata sepenuhnya.
Demikian pula kecenderungan bertanya ‘diluar batas’ adalah bagian tak
terelakkan dari kehidupan, hingga sering tampil citra kebesaran manusia
sendiri, yang tidak tunduk pada kebesaran dan keagungan Allah. Karena
tak usah diherankan jika justru kebenaran dan hakikat Allah dan
keesaanNya, yang sering dipertanyakan oleh karya-karya seni. Islam
dengan legal-formalismenya yang eksassif, dengan tidak bermaksud menguji
keabsenan ajaran-ajarannya di hadapan ajaran-ajaran lain, sudah tentu
tidak berdamai dengan kecenderungan erotis dan kegemaran mempertanyakan
kebenaran segala hal, termasuk wujud Allah. Inilah esensi kesulitan yang
dihadapi kesenian Islam.
Bentuk Miniatur yang Indah
Dari apa yang diuraikan di atas menjadi jelaslah, bahwa Islam
memperlakukan seni sebagai bagian dari penghayatan dan pengalaman ajaran
agama. Seni adalah wahana peribadatan, yang dalam Islam tidak dapat
dibatasi hanya dalam aspek ritual dan liturgisnya belaka. Beribadat
adalah menjalani kehidupan secara keseluruhan dalam rangka acuan
keimanan dan moral yang ditentukan oleh Allah. Baik dan buruk dalam
Islam senantiasa mengandung konotasi besar adalah jangka panjang dan
diganti dengan ideal type yang sudah disahkan oleh masyarakat Islam.
“seni dengan demikian berada dalam keadaan tidak berdaya untuk
merumuskan masalahnya sendiri, atau juga wilayah kehidupannya sendiri.”.
seni sejak semula telah diletakkan dalam kedudukan tersudut, dijadikan
bagian dari kehidupan tanpa dapat menjaga jarak dari kehidupan itu
sendiri. Seni dalam pandangan Islam adalah “Kehidupan itu sendiri, yang
nantinya akan diekspresikan dalam bentuk miniature yang indah”. Seni
adalah keindahannya sendiri menurut Islam, dan dalam pengertian ini
Al-Qur’an menyatakan “Allah menyenangi keindahan”. Keindahan yang sudah
dijinakkan oleh masyarakat muslim, bukan melanggarnya. Seni yang
ditundukkan doktrin keimanan agama, bukannya yang menyimpang dari
doktrin itu. dengan demikian pandangan Islam tentang seni ditundukkan
sepenuhnya kebawah supremasi ajaran formal agama.
Karena Allah adalah batasan mutlak yang tidak bisa dilanggar,
dipertanyakan maupun sekedar diuji oleh seni, juga oleh ilmu
pengetahuan. Dari pengakuan keesaan Allah (tauhid) itu dikembangkan
patokan kedua, yaitu keharusan seni untuk menerima kebenaran hukum agama
(syara’), dilanjutkan patokan ketiga, yaitu patokan menurut moralitas
agama. Dalam keadaan seperti itu, tidak dapat dihindarkan adanya batasan
serius atas kemungkinan terjauh atas seni, disamping ekspressi visual
yang umum dalam karya seni.
Demikian Kyai Abdurrahman Wahid menatap seni, dan tentu saja, ia ajukan beberapa naluri seni, yang disini antara lain:
- Harus dikembangkan pemikiran Islam tentang seni, sebuah orientasi baru untuk membedakan kehidupan nyata itu sendiri, dengan dasar seni sebagai simbol tidaklah akan pernah mampu mengekspresikan totalitas yang dilambangkannya.
- Harus pula dirintis pandangan tidak serba formal legalistik dalam tata kehidupan kaum muslimin pada umumnya, dalam artian instutisional (lembaga sensor dan sejenisnya).
- Menempatkan keanehan ekspresi seni dalam kedudukan “Untuk diperlakukan sama” dengan ketaatan pada sendi-sendi keimanan dan kepatuhan kepada agama, semata-mata guna memungkinkan tercapainya ketuntasan pengalaman spiritual yang pada akhirnya toh akan memantulkan keagungan Allah dan kebesarannya.
Dengan kata lain, pemberian otonomi penuh kepada dunia seni, sebagai
bidang kehidupan yang dalam analisa terakhir toh akan membawa manusia
kepada kesadaran akan kebenaran Allah, maka Ia lah Keindahan mutlak yang
memberikan inspirasi bagi ekspresi seni.
KH. Abdurahman Wahid
Artikel ini dimuat di Majalah Tebuireng No. 2 Juni 1986
Comments
Post a Comment