Mengelola Perbedaan Pendapat

Perbedaan pendapat adalah sunnatullah, sesuatu yang sudah seharusnya terjadi dan tidak perlu dipermasalahkan. Tetapi kenyataan di tengah masyarakat menunjukkan bahwa ada kalanya perbedaan itu menimbulkan masalah, menyebabkan terjadinya gesekan antar kelompok.
Artinya ada perbedaan pendapat yang sifatnya tidak peka dan tidak menimbulkan masalah. Kalaupun menimbulkan masalah. Kalaupun menimbulkan masalah, dengan mudah dapat diselesaikan. Tetapi ada juga perbedaan pendapat yang menimbulkan masalah dan tidak jarang memicu konflik. Perbedaan pendapat seperti itu tentu harus disikapi dengan bijak, jangan sampai menimbulkan masalah berkepanjangan dan mengganggu kerukunan.
Perbedaan pendapat yang termasuk peka ialah di dalam masalah agama termasuk antar kelompok di dalam satu agama. Perbedaan pendapat yang sudah klasik ialah antara komunitas NU dengan komunitas Muhammadiyah, antara lain di dalam masalah TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat) seperti tahlilan, tarawih, qunut, ushalli, ziarah kubur dll.
Tahun 1920-an ulama NU mengirim utusan menghadap Raja Saudi Arabia untuk menolak usulan kalangan Wahabi untuk menghancurkan makam Rasulullahdan keluarga serta sahabat. Perang kata-kata dalam masalah tersebut sering terjadi pada tahun 1950-an/1960-an dan sebelumnya. Tapi gesekan antara komunitas dan organisasi NU dan Muhammaddiyah di dalam masalah di atas sekarang praktis sudah tidak ada.
Ternyata perselisihan dalam masalah tersebut belakangan muncul lagi. Penulis diminta untuk menjadi  pembicara bersama Prof Dr Din Syamsudin pada HUT Majelis Tafsia Al-Quran (MTA) di Solo. Begitu menyatakan bisa menyediakan waktu untuk kegiatan tersebut, datang banyak SMS dari kawan-kawan NU di Solo yang menyampaikan bahwa Radio MTA sering mengkritik praktek keagamaan kaum Nahdliyyin bahkan ada praktik yang dinyatakan musyrik.
Menanggapi pidato ketua umum MTA yang menyatakan bahwa mereka mendasatkan semua pada al-Quran dan Sunnah, Penulis katakan bahwa NU juga mendasarkan diri pada al Quran dan Sunnah, tetapi ada tambahan langkah dalam metodologi yang disebut sebagai ijma’dan qiyas. Ijma’ ialah konsensus yang sering dilakukan oleh semua komunitas Islam. Qiyas ialah perbandingan dengan pendapat ulama di tempat lain atau di masa lalu. Hal itu pun banyak dilakukan pihak lain. Bedanya NU menegaskan bahwa dua langkah itu adalah metodologi baku yang dipergunakan dalam menentukan hukum suatu masalah. Dan juga tentu ada perbedaan dalam bentuk khazanah kitab kuning yang menjadi acuan dalam bahtsul masa’il.
Selanjutnya disampaikan himbauan bahwa sesama islam janganlan saling menyerang . yangmau mengadakan tahlilan, barzanji, atau mauludan, silahkan. Jangan menyerang, apalagi secara terbuka melalui radio, praktek keagamaan kalangan NU. Kita lihat saja apakah Radio MTA akan tetap menyerang praktek keagamaan kaum Nahdliyyin, setelah himbauan secara terbuka untuk tidak meneruskan apa yang telah dilakukan. Kalau masih terjadi, sungguh menyedihkan bagi umat Islam.
Masalah lain yang menimbulkan perselisihan internal umat Islam ialah perbedaan pendapat tentang masalah politik, khususnya posisi syariat Islam didalam peraturan perundangan. Kita tentu ingat bagaimana demo dan saling hujat terjadi saat pembahasan RUU APP di DPR. Tokoh dan kaum muslimin yang pro dan yang menolak RUU itu saling menghujat dengan cara yang tidak Islami.
Kita juga ingat saat umat dan tokoh Islam berselisih paham dalam menanggapi fatwa MUI (2005) tentang pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama serta masalah Ahmadiyah. Dialo9g yang dilakukan ternyata tidak sesuai harapan sehingga harus dihentikan. Tidak pernah diadakan dialog lagi setelah itu. Padahal seharusnya dialog itu harus dirancang dengan baik, siapa pembicaranya, bagaimana metodenya supaya berjalan efektif dan tidak menjurus ke arah pertengkaran.
Fenomena terakhir ialah gesekan antara NU dengan HTI di Jatim. Media resmi NU (AULA dan Risalah NU) mengemukakan berita tentang HTI menelusup ke dalam kalangan NU dan bahkan dikatakan ada masjid warga NU yang diambil alis oleh aktivis HTI. Hal itu dibantah oleh pihak HTI. Rasanya perlu ada dialog diantara kedua belah pihak untuk menjernihkan masalah. NU jelas tidak (pernah) setuju dengan gagasan khilafah dan mempertahankan NKRI. HTI juga bilang mempertahankan NKRI. Jadi, NKRI di mata NU beda dengan NKRI di mata HTI.
Untuk memperjelas itu, kita usulkan dialog antara NU dan HTI. Dialog itu adalah upaya kita untuk mengelola perbedaan pendapat , untuk menghilangkan kesalahpahaman dan untuk menghilangkan prasanhka. Dengan dialog banyak manfaat yang akan diperoleh, baik untuk kedua pihak maupun untuk masyarakat luas.

DR. (HC) Ir. KH. Shalahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
*Artikel ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 35/November-Desember 2014, dimuat kembali untuk kepentingan pendidikan

Comments