Oleh: Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid
Tahun
1951/1952 saat masih di SD, saya melihat di meja kerja ayah saya sebuah
foto tentang seorang laki-laki yang ditutup matanya berdiri di depan
sejumlah orang yang mengarahkan senjata ke arah lelaki itu.
Saya
bertanya kepada ayah saya, siapa lelaki itu? Beliau menjawab lelaki itu
adalah orang yang dihukum mati karena terlibat pemberontakan PKI di
Madiun pada 1948. Anggota PKI membunuh banyak kiai dan santri.
penjelasan
ayah saya itu amat saya yakini, langsung menempel di otak dan bertahan
sampai kini, walau ada banyak tulisan dan buku yang mencoba membantah
bahwa PKI memberontak pada 1948. Keyakinan itu juga dimiliki puluhan
juta warga NU, umat Islam, dan pemeluk agama lain.
Beberapa
tahun menjelang 1965, mereka yang berkeyakinan seperti itu menyaksikan
dan mendengar bahwa anggota PKI dan organisasi di bawahnya telah
memprovokasi umat Islam, menyerang angota PII yang sedang shalat subuh
di Kanigoro, Kediri, membunuh anggota Ansor di Banyuwangi. Perang
kata-kata terjadi antara koran PKI dan koran lain, antara sastrawan
pro-PKI dan sastrawan anti-PKI.
Sikap Gus Dur
Kami
sekeluarga, kecuali Gus Dur yang berada di Mesir, mendengar dengan
saksama pengumuman Dewan Revolusi. Dengan latar belakang seperti di
atas, reaksi spontan kami saat itu: ini pasti perbuatan PKI. Ibu saya
ikut menandatangani tuntutan pembubaran PKI, mewakili PP Muslimat NU, 4
Oktober 1965.
Saat itu
belum banyak yang punya telepon apalagi telepon seluler, jadi informasi
bergerak lambat. Kami mulai mendengar adanya eksekusi terhadap mereka
yang diduga sebagai anggota PKI dan organisasi di bawahnya sekitar
seminggu setelah terjadi. Tentu kami tak setuju. Saat peringatan hari
lahir ke-40 NU, ada beberapa anggota Banser Jawa Timur yang menginap di
rumah ibu saya. Saya dan adik saya, Umar, mengobrol dan bertanya mengapa
kawan-kawan anggota Banser mengeksekusi mereka yang dianggap anggota
PKI dan organisasi di bawahnya?
Menurut
mereka, suasananya seperti perang: membunuh atau dibunuh. Pada 2005 saya
bertemu seorang anggota Banser yang mengeksekusi banyak orang yang
diduga anggota PKI atas perintah anggota TNI tingkat kecamatan. Dia
mengatakan, kalu dia menolak, dia akan dituduh sebagai anggota PKI.
Pendapat para anggota Banser itu adalah suara hati nurani warga NU
terhadap PKI 50 tahun lalu.
Gus Dur
meninggalkan Indonesia menuju Kairo pada akhir 1963 dan kembali pada
pertengahan 1971. Jadi Gus Dur tidak mengalamai atau merasakan suasana
permusuhan dengan PKI dan organisasi di bawahnya. Gus Dur juga punya
akses terhadap informasi tentang Gerakan 30 September (G30S) yang
bertentangan dengan informasi yang beredar di Indonesia. Amat mungkin
Gus Dur pernah berjumpa dan berdialog dengan warga PKI yang tidak bisa
kembali ke Indonesia dan tinggal di sejumlah negara Eropa.
Wajar kalau
perbedaan itu membuat Gus Dur punya pandangan dan sikap berbeda
terhadap PKI dan warganya dibandingkan warga dan tokoh NU yang mengalami
gesekan dengan warga PKI. Sebagai orang yang punya keberanian luar
biasa, Gus Dur tidak ragu-ragu untuk meminta maaf kepada keluarga korban
1965. Gus Dur juga berani melontarkan gagasan untuk mencabut Tap MPR No
XXV/1996. Gus Dur tidak menghitung untung-rugi akibat mengeluarkan
pernyataan di atas.
Saat itu
saya menilai kebanyakan orang menentang gagasan itu. Saya membuat
tulisan di koran menanggapi gagasan pencabutan Tap MPR oleh Gus Dur itu.
Menurut saya, tidak semua substansi Tap MPR tersebut dapat dibatalkan.
Namun, perlakuan diskriminatif terhadap keluarga korban harus
dihentikan. Saya yakin masih jauh lebih banyak rakyat yang menolak PKI
diizinkan berdiri lagi.
Pada
September 2012, sebuah majalah berita nasional mengeluarkan edisi khusus
yang mengungkap sejumlah kisah tentang aksi kekerasan terhadap mereka
yang diduga sebagai anggota PKI pada akhir 1965. Warga dan tokoh NU
tentu merasa terpojokkan oleh penuturan majalah tersebut, yang kemudian
memicu terbitnya buku Benturan NU-PKI, 1948-1965. Buku itu
mengungkap latar belakang dan penyebab warga dan aktivis NU di sejumlah
kota terpaksa melakukan eksekusi terhadap anggota PKI dan organisasi di
bawahnya karena kondisinya memang mendorong ke arah hal itu.
Terbitnya edisi khusus majalah berita nasional tersebut dan beredarnya film-film yang tidak lolos sensor (The Act of Killing dan The Look of Silence)
mau tak mau membuat suasana panas dan menumbuhkan rasa saling curiga.
Itu tidak bisa dihindarkan. Bahkan, berbagai SMS masuk ke ponsel saya
memberi informasi bahwa CC PKI sudah berdiri dan mengadakan rapat di
sejumlah kota. Saya tidak punya kemampuan untuk mengetahui apakah
informasi itu benar atau tidak.
Rekonsiliasi
Pada awal
2000-an mulai muncul gerakan mendorong terjadinya islah atau
rekonsiliasi. Anak-anak muda NU, terutama yang tergabung dalam syarikat,
melakukan berbagi kegiatan untuk memulai mewujudkan rekonsiliasi itu.
Banyak anak
pelaku kekerasan terhadap korban 1965 merasa ikut bersalah dan lalu
melakukan sesuatu yang positif terhadap keluarga korban. Putra-putri
tokoh yang dulu bermusuhan secara politik berkumpul dalam satu
organisasi beranama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Mereka antara
lain putra/putri Jenderal A Yani, Jenderal Sutoyo, Jenderal Supardjo, DN
Aidit, dan Kartosuwiryo.
Upaya
rekonsiliasi memberi harapan kepada para korban ketika Panitia Seleksi
Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional sudah
menyerahkan nama calon anggota kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
yang memerlukan waktu lama sekali untuk memilih para anggota KKR. Di
tengah masa menunggu itu, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR pada
awal Desember 2006. Sampai hari ini belum ada tanda-tanda akan muncul UU
KKR pengganti UU yang dibatalkan itu walau sudah delapan tahun berlalu.
Dalam
pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo menyatakan secara tersirat
rencana membentuk tim untuk melakukan rekonsiliasi terkait pelanggaran
HAM berat masa lalu, termasuk Peristiwa 1965. Rekonsiliasi ini kabarnya
akan disertai pengungkapan kebenaran. Informasi ini menimbulkan reaksi
berbeda di dalam berbagai kelompok, ada yang senang dan ada yang tidak.
Komnas HAM
pada Juli 2012 meluncurkan laporan tentang kejahatan terhadap
kemanusiaan yang terjadi secara sistematis dan meluas pada 1965-1966.
Laporan disusun berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan di empat
wilayah (Maumere, Maluku, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara) dan
pengumpulan kesaksian dari 349 saksi dan korban. Menurut UU no 26/1926
tentang Pengadilan HAM juncto Pasal 7 Statuta Roma, kejahatan-kejahatan ini didefinisikan sebagi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mengingat
di Indonesia tidak bisa dilakukan proses hukum terhadap mereka yang
diduga melakukan pelanggaran HAM berat pada 1965/1966, sejumlah orang
punya prakarsa untuk menyelenggarakan International People Tribunal (IPT
1965) terhadap mereka yang diduga sebagai pelaku. IPT itu akan
dilakukan di Den Haag dari Oktober 2015 sampai Oktober 2016. IPT akan
mendakwa pihak negara (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku
dalam peristiwa itu.
Sikap warga NU kini
Bagaimana
sikap warga NU terhadap peristiwa yang sudah terjadi 50 tahun lalu itu?
Terdapat beberapa kelompok. Pertama, antirekonsiliasi, yang saya duga
jumlahnya kecil. Mereka menganggap TNI dan kelompok sipil telah
melakukan upaya tepat dalam menyelamatkan NKRI. KKR dan rencana
rekonsiliasi pemerintah dianggap tak perlu karena warga PKI memang
pantas mendapat perlakuan seperti yang terjadi. Sikap ini juga dimiliki
kelompok di luar NU.
Kedua,
kelompok yang setuju upaya rekonsiliasi, yang menganggap warga PKI dan
warga NU sama-sama jadi korban. Menurut mereka, negara bisa meminta maaf
kepada korban bukan kepada PKI. Rekonsiliasi yang sudah berjalan perlu
ditingkatkan dengan berlandaskan ketulusan dan kejujuran serta
menghilangkan prasangka.
Ketiga,
mereka yang secara sadar mengakui keterlibatan warga NU dan militer
dalam pelanggaran HAM berat itu. Kelompok ini setuju jika diadakan
proses hukum untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi. Mereka setuju
Tap MPRS No XXV/1966 dicabut, ajaran komunis boleh disebarkan. Mereka
meyakini bahwa PKI tidak akan laku walau diberi hak untuk didirikan
lagi.
Kelompok
terakhir ini amat terpengaruh oleh pemikiran Gus Dur saat meminta maaf
dan mengusulkan pencabutan Tap MPRS No XXV/1966. Mereka sama seperti Gus
Dur, tidak mengalami suasana saat PKI sedang “berperang” dengan TNI dan
partai-partai lawan, termasuk NU. Ke Depan, jumlah mereka yang tidak
mengalami konflik dengan PKI akan makin banyak dan mungkin saat itu
proses hukum bisa dilakukan walaupun pihak yang harus bertanggung jawab
sudah tidak ada.
*Tulisan
Pengasuh Pesantren Tebuireng Gus Sholah di Kompas (Selasa, 29 September
2015) dimuat kembali untuk kepentingan pendidikan
Comments
Post a Comment