Ayip Rosidi dalam bukunya berjudul “Korupsi dan Kebudayaan” membuat
pendekatan kebudayaan terhadap perilaku korup dan tindak pidana korupsi
yang masih marak di Indonesia. Dia menekankan pada watak perilaku elite
penguasa yang berorientasi pada upaya memperkaya diri (dengan cara
berkuasa) sebagai akar dari budaya politik yang korup. Perilaku penguasa
kita sekarang tidak jauh berbeda dengan watak kaum ningrat masa lalu.
Didalam kerajaan di Nusantara, tidak ada perbedaan antara milik pribadi
raja dengan milik publik. Karena itu tidak ada keharusan yang menuntut
transparansi dan pertanggungjawaban publik. Sepanjang sejarah kerajaan
atau kesultanan di seluruh Nusantara, perpecahan dalam tubuh kerajaan
atau pemberontakan yang memperebutkan tahta kerajaan yang melibatkan
kerabat kerajaan, dilihat sebagai priode awal yang melahirkan mentalitas
budaya korup yang lebih mementingkan upaya memperkaya diri atau
golongan dari pada menjaga keutuhan dan kepentingan bangsa. Kelompok
dalam keluarga kerajaan banyak yang meminta bantuan VOC dalam menghadapi
kelompok lawannya.
Korupsi mulai dikenal dalam organisasi pemerintahan modern. VOC
adalah lembaga yang memperkenalkan tradisi korupsi di sini. MC Ricklefs
menulis dalam buku Sejarah Indonesia Modern : “Personil VOC di Indonesia
seperti diduga orang tidaklah selalu bermutu tinggi terutama pada
tahun-tahun terakhir masa kekuasaannya. Sulit ditemukan orang-orang
terhormat yang mempunyai keinginan untuk menempuh karier yang berbahaya
di Asia. Meskipun VOC adalah organisasi Belanda, tetapi sebagian besar
personilnya bukanlah orang Belanda. Para petualang, gelandangan,
penjahat dan orang-orang yang bernasib dari Eropa-lah yang mengucapkan
sumpah setia. Inefisiensi, ketidakjujuran, nepotisme dan alkoholisme
tersebar luas di kalangan VOC”. Dalam hal ini, yang bisa dikemukakan
adalah suap yang dilakukan oleh para priyayi Jawa untuk mendapatkan
kedudukan yang dibagikan oleh VOC menyusul pergantian sistim penggajian
tradisional dan perluasan pungutan pajak oleh Belanda atas tanah dan
hasilnya. Dr JC van Leur menulis bahwa VOC bangkrut akibat praktek
korupsi yang meluas.
Teten Masduki mencatat bahwa sejak kemerdekaan ada tiga periode
sejarah yang sangat penting dalam peningkatan intensitas korupsi di
Indonesia. Pertama, proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda
yang dilakukan oleh tentara pada pertengahan tahun 1950-an, yang
akhirnya banyak sang mengalami kebangkrutan. Menurutnya, pada babak
inilah korupsi sistematis mulai terbangun, ketika penguasa militer yang
kemudian menjadi salah satu pilar utama kleptokrasi Orde Baru disamping
kalangan konglomerat dan birokrasi, menguasai sumber-sumber ekonomi
negara. Kedua, era Demokrasi Terpimpin (1958-1965), terutama ketika
Presiden Soekarno menempatkan lembaga peradilan, dalam hal ini Mahkamah
Agung, dibawah kendalinya. Penegakan hukum berjalan dengan baik pada era
demokrasi liberal (1950-1959), ketika tiada seorangpun pelaku kriminal
lolos dari jerat hukum, walaupun dia seorang menteri, jenderal, pimpinan
parpol atau kroni Bung Karno. Dengan tindakan Bung Karno terhadap
Mahkamah Agung, penegakan hukum menjadi tidak berjalan. Ketiga,
sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden yang semakin menguat di era
Orde Baru. Semua elemen demokrasi seperti pemilu, parpol dan DPR,
birokrasi, pers dan lembaga peradilan berhasil dijinakkan. Maka sistem
checks and balances tidak bisa berjalan.
Kita semua menyaksikan bahwa dalam awal era Reformasi, muncul
kesadaran bahwa korupsi adalah salah satu masalah utama bangsa dan
negara Indonesia. Pembentukan KPK disetujui melalui UU pada 2002. Tetapi
ternyata intensitas korupsi tidak juga berkurang, kalau tidak mau
disebut bertambah.
Demikian tinggi daya rusak korupsi itu, yang terlihat pada
keterlibatan PBB untuk mencari solusi dalm upaya memberantasnya. Karena
itu PBB telah mengeluarkan United Nation Convention Against Corruption
(UNCAC), 2003. Mari
kita baca kutipan dari UNCAC : “prihatin atas kegawatan
masalah-masalah ancaman-ancaman yang ditimbulkan korupsi terhadap
stabilitas dan keamanan masyarakat, yang meruntuhkan lembaga-lembaga dan
nilai-nilai demokrasi dan bilai-nilai etika dan keadilan serta
mebahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.
Perilaku korup juga bertambah marak, termasuk munculnya kebiasaan
memberi uang kepada para pemilih didalam pemilu legislator dan
pemilukada. Maka banyak pihak merasa prihatin dan risau akan masa depan
bangsa. Berbagai dialog dan seminar diadakan untuk membahas upaya
memerangi korupsi dengan berbagai pendekatan.
###
Seminar ini ingin membahas peran iman dan moral sebagai penangkal
korupsi demi sustainable development. Sungguh tidak mudah untuk
merumuskan peran itu. Secara orang per orang, pasti banyak orang yang
mampu menjaga dirinya dari banyak perbuatan yang dilarang oleh agama
(apapun) termasuk korupsi. Tetapi secara sosial ternyata tidak demikian.
Data yang ada menunjukkan bahwa agama atau iman ternyata tidak mampu
menangkal korupsi. Enam rukun iman didalam Islam terbukti tidak cukup
kuat untuk menangkal korupsi termasuk yang dilakukan oleh para pimpinan
parpol Islam atau parpol yang berbasis massa Islam. Bahkan bukan tidak
mungkin juga dilakukan oleh sejumlah kecil pimpinan ormas Islam.
Survey Gallup di sekitar 40 negara dengan 1000 responden tiap negara
menunjukkan bahwa makin miskin suatu negara, maka penduduk negara itu
menganggap makin penting peran agama dalam kehidupan. Untuk negara
dengan PDB perkapita < USD 2.000, 99% penduduk berpendapat bahwa
agama amat penting bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya bagi warga dari
negara yang PDB per kapitanya > USD 25.000, hanya 47% yang
berpendapat begitu. Kecuali di Amerika Serikat yang mencapai angka 65%.
Indonesia dan sejumlah negara berkembang lainnya, 99% warganya
berpendapat bahwa agama amat penting bagi kehidupan masyarakat. Warga
Denmark hanya 19% yang berpendapat seperti itu. Tetapi dalam kenyataan,
Denmark adalah negara yang paling bersih dari korupsi dan Indonesia
berada pada peringkat ke 111. Berarti pentingnya agama di mata penduduk
suatu negara tidak otomatis membuat penduduk negara itu menjalankan
perintah agama dalam kehidupan bermasyarakat/bernegara.
Ada empat pertanyaan yang diajukan didalam TOR Seminar ini. Pertama,
mengapa seruan moral dan agama sebagai upaya pemberantasan korupsi
sejauh ini tak juga berdampak tegas dan memuaskan. Kedua, bagaimana
memahami gejala korupsi yang terus saja meluas di tengah kuatnya gaung
klaim kebertuhanan dan keadilan sosial sebagai watak dasar bangsa ini?
Ketiga, apabila pendidikan tetap dipandang penting sebagai sarana
pemberantasan korupsi, dari segi moral dan iman, subtansi macam apa yang
diperlukan sebagai isi kurikulum untuk semua jenjang pendidikan.
Keempat, perang terhadap korupsi tak boleh berhenti pada sisi moral dan
iman dalam arti konseptual; ia harus menjadi gerakan sosial yang
melibatkan semua lapisan masyarakat. Karena itu dari segi pendidikan
praktis pertanyaannya adalah wajah gerakan sosial macam apa yang
diperlukan bangsa ini untuk sekurang- kurangnya menekan korupsi ke
tingkat serendah mungkin.
Korupsi yang dimaksud didalam tema seminar ini tidak dijelaskan dalam
pengertian apa, tindak pidana korupsi atau perilaku korup? Kalau kita
cermati, maka perilaku korup jauh lebih luas dibanding tindak pidana
korupsi. Menurut Erry Ryana, ibaratnya perilaku korup seluas Laut Jawa
dan tindak pidana korupsi itu seluas Pulau Seribu.
Tindak pidana korupsi ialah pelanggaran hukum yang memenuhi
unsur-unsur yang dirumuskan dengan bahasa dan logika hukum yang rumit
dan sering menimbulkan beragam tafsir. Berbagai jenis tindak kriminal
yang mudah kita kenali dan terjadi di banyak lembaga, kita biarkan dan
dianggap lumrah, karena tidak mudah membuktikan secara hukum dan jumlah
dananya kecil (walaupun secara nasional amat besar. Bisa kita ambil
sebagai contoh ialah perjalanan dinas fiktif, perjalanan dinas yang
jumlah hari perjalanannya kita gelembungkan, proyek fiktif, penurunan
mutu, pemotongan dana terhadap para rekanan yang memperoleh proyek.
APBN, APBD (kontraktor, pemasok, konsultan), dalam jumlah besar (25-40%
dari nilai kontrak).
Perilaku korup adalah pelanggaran yang mengakibatkan kenyamanan atau
hak sesama warga negara terabaikan, terganggu, bahkan mungkin terampas,
tidak mau antre secara tertib, disiplin berlalu lintas yang amat rendah,
menebang pohon secara besar-besaran dan tidak menanamnya kembali yang
menyebabkan perusakan lingkungan. Salah satu perilaku korup yang baru
tumbuh beberapa tahun terakhir adalah menyewakan kendaraan partai untuk
kepentingan menjadi calon pilkada dan pilpres. Juga industri perizinan
yang marak dilakukan oleh kepala daerah dan oleh pejabat-pejabat
tertentu di Jakarta.
Salah satu perilaku korup yang akhirnya dapat dikonversi menjadi
tindak pidana korupsi adalah pemberian uang kepada para anggota DPR RI
dalam kaitan pemilihan Gubernur BI Miranda Gultom. Hal ini bisa terjadi
karena ada seorang penerima dana itu melaporkan adanya dugaan suap.
Tindakan pelaporan itu bisa efektif karena sudah ada UU yang melindungi
si pelapor sebagai “a whistle blower”. Perilaku korup lain yang masih
berjalan dan tidak dianggap sebagai peri laku korup ialah kebiasaan
membolos PNS dan anggota DPR. Juga kegiatan “studi banding” anggota DPR
ke LN yang diragukan manfaatnya, apakah seimbang dibanding besarnya dana
yang dipakai.
###
Nabi Muhammad mengatakan bahwa beliau diutus Allah SWT tak lain adalah untuk memperbaiki akhlak umat Islam.
Inti dari akhlak adalah kejujuran. Umat Islam diperintahkan untuk
berpuasa supaya bertaqwa. Unsur utama dari taqwa adalah kejujuran.
Didalam berpuasa umat Islam dilatih untuk jujur. Tetapi ternyata
kejujuran umat Islam di luar bulan Ramadhan masih jauh dari harapan,
termasuk sedikit tokohnya. Upaya untuk menanamkan kejujuran harus
ditanamkan dengan serius sejak kecil melalui keluarga, melalui sekolah
dan berbagai cara lain. Kalau didalam rumah tangga tidak ditanamkan
makna dan pentingnya kejujuran baik dari sudut agama maupun sosial, di
sekolah siswa tidak mendapat bimbingan yang efektif dalam menanamkan
kejujuran dan didalam masyarakat dia melihat banyak contoh tentang
perilaku tidak jujur dari para tokoh masyarakat, pengusaha dan pejabat,
bagaimana kita bisa berharap bahwa anak-anak bangsa akan jujur.
Kalau ayahnya pengusaha, di dalam rumah dia pasti sering mendengar
tentang perilaku tidak jujur atau korup dari para pejabat yang harus
dilayani ayahnya kalau mau berhasil mendapat kontrak. Lalu di sejumlah
sekolah (yang tidak bermutu) dia menyaksikan bahwa para guru di sekolah
itu membantu para siswa yang sedang menempuh ujian nasional. Kalau tidak
dibantu, maka kebanyakan siswa itu tidak akan bisa lulus karena para
guru tidak mampu mempersiapkan mereka supaya bisa lulus. Lalu didalam
kehidupan nyata di masyarakat, dia melihat fakta bahwa banyak tokoh
masyarakat atau pejabat yang diduga kuat berperilaku korup, ternyata
tidak mendapat sanksi sosial atau sanksi hukum. Maka lengkaplah contoh
yang tersaji didepan mata kebanyakan anak-bangsa, bahwa kejujuran itu
tidak penting kalau mau sukses. Bahkan kejujuran itu cenderung akan
menyusahkan dirinya.
Tampak nyata bahwa hablun min allah (hubungan vertikal) tidak selalu ada kaitan dengan hablun min an-nas (hubungan
horizontal). Kebanyakan umat Islam lebih mengutamakan hubungan vertikal
tanpa memikirkan hubungan horizontal. Kalau sudah merasa saleh secara
ritual/personal (sholat, puasa, berhaji dan zakat) dan saleh secara
sosial (berderma, baik kepada tetangga dan masyarakat), tidak masalah
kalau tidak saleh secara profesional (korupsi, kesaksian palsu, membeli
suara). Kita seperti membuat neraca pahala dan dosa. Padahal kalau kita
tetap berbuat keji dan mungkar, maka sholat kita belum tentu benar.
Prof Mochtar Buchori membuat tulisan berjudul “Memerangi Budaya
Korupsi Melalui Pembaruan Pendidikan Nilai”, yang akan kita kutip
pendapatnya dibawah ini. Menurutnya, dari sudut pandang pendidikan
setidaknya terdapat tiga sebab utama yang ikut membuat subur “budaya
korupsi”. Pertama, pendidikan yang mengabaikan pembinaan kesadaran
nilai. Kedua, metode pendidikan nilai yang salah (jika memang sudah ada
pendidikan nilai). Ketiga, kegiatan pendidikan yang tidak ada perhatian
terhadap hubungan antara “nilai”, “norma” dan moralitas. Dari sudut
pandang ini, pendidikan untuk membina kesadaran nilai dipahami sebagai
“masalah hulu”, dan pemberantasan korupsi adalah “masalah hilir”. Maka,
kita dapat menyatakan bahwa sesungguhnya “budaya korupsi” adalah dampak
langsung dari polusi yang terjadi di hulu, yaitu pendidikan yang tidak
atau kurang memberikan fondasi nilai yang cukup kuat kepada siswa selama
masa pertumbuhan mereka.
Secara garis besar, “kesadaran nilai” meliputi tiga hal. Pertama,
pengetahuan dan pemahaman tentang nilai. Kedua, penghayatan nilai-nilai
itu. Ketiga, pengikatan diri secara sukarela terhadap nilai-nilai itu.
Kebanyakan sekolah saat ini tampaknya terlalu menekankan pada aspek
pengetahuan termasuk tentang nilai-nilai dan pada saat yang sama
mengabaikan pendidikan nilai dalam penghayatan maknanya yang lebih
mendalam sehingga anak-anak didik mau mengikatkan diri pada nilai itu.
Akibatnya, siswa yang seharusnya menjadi manusia utuh (memiliki ilmu,
dan ketrampilan sekaligus memiliki kesadaran nilai) dikurangi menjadi
manusia satu dimensi yang miskin nilai.
Transformasi pemahaman menjadi tindakan dalam pendidikan nilai harus
melalui suatu proses yang panjang. Suatu nilai, baik nilai estetika,
etika maupun empirik, tidak secara otomatis dapat diejawantahkan kedalam
perilaku segera setelah nilai-nilai itu diajarkan oleh seorang guru
kepada siswanya. Guru-guru sering lupa bahwa siswa-siswa yang mereka
ajar belum tentu benar-benar memahami nilai-nilai yang diajarkan itu,
apalagi melakukan internalisasi nilai itu kedalam penghayatan dan
kesadaran.
Dalam keadaan sebenarnya, internalisasi nilai mencakup suatu proses
transformasi mental yang cukup panjang. Proses tersebut dimulai dari
memahami nilai-nilai yang diajarkan, merasakan nilai-nilai yang
dipahami, menghormati nilai-nilai yang dirasakan, meyakini dan bersedia
terikat dengan nilai-nilai yang dihormati, terdorong untuk melakukan
nilai-nilai yang diyakini tersebut. Jadi pengertian dan pemahaman kita
terhadap suatu nilai tidak serta merta dapat mendorong perubahan
perilaku. Sebab jika kita tidak cukup merasakan, tidak cukup
menghormati, kurang meyakini dan kurang terikat dengannya, dan belum
terdorong melakukannya, maka nilai-nilai tersebut tidak akan memiliki
dampak apapun bagi perilaku kita. Persoalannya : nilai-nilai apa yang
harus diperkenalkan kepada para siswa dan lalu harus mereka
internalisasikan secara pribadi dan secara kolektif untuk membuat
masyarakat kita hidup dengan rukun, saling percaya dan saling
menghormati.
Untuk membangun kesadaran publik supaya anti korupsi tidak terlalu
sulit. Tetapi masalahnya, masyarakat tidak memberi sanksi sosial kepada
mereka yang amat layak untuk diduga sebagai koruptor. Masyarakat umumnya
tetap memberi penghormatan kepada mereka yang mau memberi bantuan
kepada masyarakat, walaupun orang itu amat layak diduga atau bahkan
sudah dijatuhi hukuman untuk tuduhan korupsi. Para koruptor yang telah
menjalani hukuman mungkin awalnya kurang PD untuk tampil didepan publik,
tetapi lama kelamaan akan beradaptasi.
Kampanye anti korupsi harus tetap dilanjutkan. Pendidikan anti
korupsi harus digiatkan. Pendidikan karakter terutama kejujuran harus
segera dicarikan metodenya yang cepat dan disebarluaskan ke seluruh
sekolah, madrasah dan pesantren.
KH. Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng
Comments
Post a Comment