Oleh: KH. Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng*
Organisasi
Nahdlatul Ulama didirikan pada 16 Rajab 1344/31 Januari 1926. Dalam
perjalanan kesejarahan yang panjang, NU mengalami pasang surut dan
dinamika luar biasa. Wajar jika sebagian warga NU khawatir akan masa
depan NU. Ke mana NU menuju?
Pertama, NU
adalah ajaran keagamaan. Kedua adalah ulama dan pesantren. Ketiga
adalah keluarga dan warga. Keempat adalah organisasi. Ajaran NU sudah
berabad-abad hidup dalam masyarakat Islam di wilayah Nusantara, jauh
sebelum organisasi NU didirikan. Ajaran disebarkan oleh para ulama,
termasuk Wali Sanga, lazim disebut ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja).
Namun, tidak semua penganut Aswaja bergabung dalam organisasi NU.
Ajaran itu
mengakui empat mazhab fikih: mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali;
dalam masalah Tauhid mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi; dalam
masalah tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaidi al-Baghdadi.
Bertambahnya
jumlah tamatan pesantren yang belajar ke negara Barat menimbulkan
perbedaan penafsiran terhadap ajaran Aswaja di kalangan NU. Muncul
keinginan memperoleh ruang lebih besar bagi kebebasan berpikir. Yang
paling bebas adalah mereka yang tergabung di dalam ”Jaringan Islam
Liberal”. Dalam waktu 25-30 tahun ke depan, jumlah itu akan semakin
banyak. Harus ada langkah nyata untuk menjembatani perbedaan itu.
Ulama dan Pesantren
Pengertian
NU sebagai ajaran perlu ditambah ajaran masalah politik setelah Muktamar
1984 menerima Pancasila sebagai dasar negara. Keputusan itu didasarkan
dokumen historis Hubungan Islam dan Pancasila. Keputusan NU itu membuat
pemilih NU jadi cair di dalam menentukan pilihan politik. Yang belum
banyak dibahas, ajaran Aswaja dalam masalah ekonomi, padahal kebijakan
ekonomi amat besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat kelas
bawah yang mayoritas warga NU.
Organisasi
NU didirikan ulama pengasuh pesantren. Mereka mendidik umat Islam di
Nusantara dan menyebarkan ajaran Aswaja. Penggagas berdirinya organisasi
NU, KH. A. Wahab Hasbullah, yakin organisasi NU hanya berkembang jika
didirikan ulama di bawah pimpinan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari,
guru para kiai terkemuka di Jawa termasuk Kiai Wahab.
Namun,
Hadratussyaikh butuh waktu lebih dari setahun untuk setuju, dihitung
dari setelah menerima pesan dan simbol berupa tongkat dan tasbih dari
gurunya, Syaikhona Kholil, dari Bangkalan. Di awal berdirinya NU tak
bisa lepas dari jaringan alumni Tebuireng, sebagian dari mereka
mendirikan pesantren yang menjadi besar dan terkenal. Dengan cepat
organisasi NU menyebar dan berkembang, khususnya di Jatim dan Jateng.
Pesantren mampu mempertahankan keberadaan dalam dunia pendidikan, bahkan
jumlah pesantren meningkat tajam beberapa tahun terakhir.
Survei
berbagai lembaga 2001-2009 menunjukkan, sebagian besar umat Islam merasa
jadi bagian komunitas NU. Tahun 2001 jumlahnya 42 persen, tahun 2009
jadi 39 persen. Namun, tak semua anggota organisasi NU. Sebagian besar
warga NU mereka yang tertinggal dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan.
Petani, pedagang tradisional, pedagang kaki lima, buruh termasuk buruh
migran, pekerja rumah tangga. Mungkin lebih dari 50 persen mereka warga
NU. Tampaknya, organisasi dan politisi NU belum banyak membantu warga NU
yang belum sejahtera ini.
Ada warga
masyarakat yang merasa jadi bagian komunitas NU karena berasal dari
keluarga NU. Hasil survei ini tampaknya jadi acuan politisi sehingga
mereka mendekati komunitas NU sebagai potensi pemilih. Namun, ternyata
NU sebagai entitas politik sudah cair. Partai Kebangkitan Bangsa yang
didirikan para tokoh puncak PBNU (secara pribadi) termasuk Gus Dur, pada
puncak pencapaiannya (1999), hanya meraih 12-13 persen jumlah pemilih.
Bandingkan dengan jumlah pemilih Partai NU pada pemilu 1955 yang 18
persen.
Organisasi
NU didirikan bukan sebagai organisasi politik, tetapi ormas keagamaan.
Sejak usia belasan tahun organisasi NU lekat dengan kehidupan politik
dan di usia 26 tahun beralih jadi parpol pada 1952. Keberhasilan jadi
pemenang ketiga Pemilu 1955 mengubah total jati diri NU. Muktamar NU
1984 mencetuskan Khitah NU kembali sebagai ormas keagamaan. Namun, harus
diakui organisasi NU kini masih memakai paradigma parpol.
Organisasi
NU sejatinya didirikan untuk membantu NU dalam tiga pengertian di atas:
ajaran, ulama plus pesantren, dan warga NU, tetapi secara nasional belum
banyak dilakukan. Mungkin di Jatim organisasi NU sudah baik, tetapi
dibandingkan Muhammadiyah Jatim, masih banyak yang harus dilakukan.
Syafii Maarif pernah mengatakan, ”Dibandingkan dengan mitra NU-nya,
secara kuantitatif posisi Muhammadiyah jelas minoritas, tetapi tidak
secara kualitatif. Apakah militansi Muhammadiyah Jatim ini didorong
perasaan minoritas yang harus unggul dalam kerja pendidikan sosial
keagamaan? Saya tak bisa menjawab.”
Tanpa ada
organisasi NU, ajaran NU tetap bisa berkembang sebagai hasil dari para
mubalig dan ulama yang tetap aktif membimbing warga NU. Mungkin
organisasi NU bisa berperan menjembatani perbedaan ”kelompok liberal”
dengan kelompok yang lain. Hanya organisasi NU yang bisa melakukan hal
itu. Tanpa dukungan organisasi NU, pesantren tumbuh dan berkembang.
Mungkin 70-80 persen pesantren didirikan dan dikelola warga NU. Jumlah
pesantren meningkat pesat, kini sekitar 27.000.
Mungkinkah
organisasi NU membuat pusat data pesantren yang akan merekam semua
informasi tentang pesantren dan membantu pesantren yang tertinggal
sehingga bisa maju? Badan otonom di lingkungan NU yang telah banyak
membantu warganya adalah Muslimat NU, khususnya di Jatim dan Jateng. Di
Jatim, keberadaan Muslimat NU terlihat sampai ke tingkat dusun. Banyak
TK, sekolah, panti asuhan, klinik, rumah bersalin, dan rumah sakit
didirikan. Di sejumlah kota di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera,
cukup banyak kerja nyata organisasi NU, tetapi belum memuaskan
dibandingkan potensinya.
Peran Ideal, Mungkinkah?
Titik lemah
NU adalah aspek organisasi. Banyak tokoh NU bergurau mengatakan bukan
NU kalau organisasinya baik. Itu mitos yang harus dilawan. Contohlah
organisasi Muslimat NU, yang menurut saya, ormas perempuan terbaik di
Indonesia. Organisasi NU 1940-an dan 1950-an dikelola baik dan
menunjukkan kinerja baik. Juga ada organisasi NU provinsi dan kabupaten
yang berjalan dengan baik.
Organisasi
NU harus fokus benahi diri supaya bisa jadi organisasi efektif.
Paradigma parpol harus diubah jadi paradigma ormas berorientasi kerja
nyata. Struktur NU harus melepaskan diri dari keterkaitan dengan parpol
termasuk PKB. Bukan berarti NU antipolitik. Organisasi NU harus terlibat
politik kebangsaan atau kemasyarakatan, bukan politik praktis atau
politik kepartaian. NU harusnya tak mendukung calon tertentu dalam
pemilihan. Organisasi NU harus jadi salah satu unsur utama masyarakat
sipil dan memanfaatkan warga NU yang jadi anggota DPR/DPRD untuk bisa
menghasilkan UU atau perda serta kebijakan pro rakyat. Berarti juga
harus kritis terhadap UU dan kebijakan pemerintah/pemda yang tak pro
rakyat. Mungkinkah NU memainkan peran ideal itu?
*Telah dimuat di Majalah Tebuireng 39 (Edisi Muktamar), dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan
Comments
Post a Comment