Pyarrr…! Bohlam di ruang tamu Wahid Hasyim,
pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pecah berantakan.
Pecahannya berserakan di lantai. Wahid, yang sedang mengetik di
kamarnya, berlari ke arah asal suara. Seisi rumah tertarik mengetahui
apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa di balik bunyi gaduh pada
pertengahan 1948 itu.Ternyata Salahuddin al-Ayyubi, anak ketiganya,
memecahkan lampu. Wahid mengurung
bocah enam tahun itu di gudang belakang rumah. Merasa tak bersalah,
Salahuddin mutung. Ia mengencingi tumpukan karung beras di gudang.
Rupanya Wahid mengintip. Salahuddin dijewer ke halaman, lalu diikat di
tiang rumah. Seluruh pakaiannya dilucuti.
Solehah hanya memperhatikan suaminya itu
menghukum sang anak. “Saya kesal sekali saat itu. Tapi sekarang sadar,
Bapak mengajarkan kedisiplinan,” kata Salahuddin kepada Tempo dua pekan
lalu.Sifat keras Wahid, menurut Gus Solah-nama populer
Salahuddin-ditanamkan oleh ayahandanya sendiri, KH Hasyim Asy’ari,
pendiri Pesantren Tebuireng sekaligus organisasi massa Nahdlatul Ulama.
Di bawah bimbingannya, Wahid bergabung, belajar bersama santri lain dari
pelbagai daerah.Wahid dilarang masuk sekolah umum dan, untuk mengenal
huruf Latin, ia harus belajar sendiri.
Kedisiplinan itu terus menyertainya hingga
ia menjadi kepala keluarga, ustad di Tebuireng, aktivis di berbagai
organisasi-seperti Majelis Islam A’la Indonesia atau Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi)-hingga menjadi menteri kabinet. Murtadjijah
Achmad, seorang kader Masyumi yang pernah dididik Wahid, bercerita
betapa gurunya itu selalu tepat waktu. “Wahid selalu datang lebih dulu
dibanding murid-muridnya,” kata Wakil Ketua Pengurus Besar Muslimat NU
itu seperti tertuang dalam Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim, yang
ditulis H Aboebakar.Wahid juga sosok yang ramah.
Salahuddin bercerita, ketika Wahid menjadi
Menteri Agama pada 1950, ia menegur istrinya, Solehah, lantaran menolak
memberi tumpangan kepada seorang anggota konstituante yang
menyudutkannya dalam sidang. “Urusan pekerjaan dan pribadi takbisa
dicampur aduk. Itu lain urusannya,” ujar Salahuddin menirukan ucapan
sang ayah.Menurut Salahuddin, disiplin, keramahan, dan kesabaran
terbentuk dari kebiasaan Wahid berpuasa. Tujuh tahun menjelang wafat
pada 1953, Wahid selalu berpuasa tanpa putus-kecuali pada hari besar
Islam yang dilarang agama. Meski lupa sahur, seharian Wahid Hasyim tak
kelihatan lesu dan lapar.
Lily Wahid “anak keempat” pernah mendengar
sebuah cerita dari ibunya. Suatu ketika, selagi Wahid berpuasa, ia dan
istri bertamu ke rumahseorang menteri. Wahid tak menolak ajakan sahibulbaitmakan
bersama. Sambil berbicara, Wahid tampak mengunyah. “Padahal makanan
sudah dipindahkan bapak ke piring ibu ketika tuan rumah lengah,” kata
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa itu.Sifat
tegas tapi mampu menahan emosi membuat Wahid Hasyim lebih adil. Kecuali
insiden lampu pecah di atas, anak-anaknya-dari Abdurrahman
ad-DachilWahid (Gus Dur) sampai Lily-hampir tidak menjumpai sang ayah
marah. Hasyim atau Gus Iim, anak bontot, masih dalam kandungan saat
Wahid wafat.
Dari keenam anaknya, Abdurrahman ad-Dachil
dan Salahuddin yang paling bandel. Mereka sering bolos sekolah. Sewaktu
tinggal di Jakarta, Wahid mengharuskan anak-anaknya tidur siang setelah
pulang sekolah. Perjanjiannya sebelum pukul empat, mereka harus sudah
ada di kamar. Di sela-sela pekerjaan, Wahid sering menyempatkan diri
pulang ke rumah mengawasi anak-anaknya. Tapi rupanya ia sering
ketiduran. Gus Dur dan Gus Solah masuk berjingkat-jingkat atau naik
lewat jendela ketika ayahnya pulas.Gus Dur kadang-kadang mengajak
Aisyah, adiknya, ikut membolos. Lily tak diajak karena masih kecil.
Kakak-adik itu bermain di Taman Suropati, Menteng. Keluarga Wahid
tinggal di rumah dinas menteri Jalan Jawa, kini Jalan H O.S.
Tjokroaminoto.
Suatu saat mereka telat masuk kamar,
sementara ayahnya sudah bangun. Wahid Hasyim menunggu mereka di teras
rumah bersama Solehah. Alih-alih marah, Wahid malah menyapa anak-anaknya
ramah. “Ibu yang suka marah karena kakak nakal,” kata Lily.Rumah
keluarga Wahid Hasyim tak pernah sepi dari tamu. Acap kali tamu menunggu
Wahid bangun dari tidur siang. Saking banyaknya orang yang singgah,
Aboebakar Atjeh, penulis biografi Wahid Hasyim, membandingkan ruang
menteri di Kementerian Agama dengan langgar atau surau kecil, dan rumah
di Jalan Jawa dengan hotel.Ada beberapa tamu yang sering datang,
Djamaluddin Malik (tokoh perfilman nasional yang juga ayah artis Camelia
Malik) dan Kiai Idham Khalid (mantan Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali
Sastroamidjojo). Kadang juga datang Asa Bafaqih, wartawan senior yang
kemudian menjadi Duta Besar Indonesia untuk Aljazair pada zaman Orde
Lama.
Siap menerima tamu kapan saja, di rumah
sendiri Wahid pun selalu berpenampilan necis. Ia mengenakan kemeja
lengan panjang, dasi, sepatu pantofel, dan sesekali memakai jas.
Kombinasi tak harus sewarna, tapi setelannya selalu serasi. Jam tangan
selalu melingkar ditangan kiri. Wahid mengikatkan karet elastis
berkancing di kedua bahunya untuk menarik lengan kemeja agar rapi.
Celana atau jas dibuat penjahit. Tapi kemeja dibeli dari toko. “Bapak
dandy untuk orang pesantren di zamannya,” ujar Lily mengenang.Kiai Haji
Saifuddin Zuhri (almarhum), asisten pribadi yang kelak menjadi mertua
Gus Solah, pernah bertanya tentang cara berpakaian Wahid.
Menurut Wahid, misi perjuangannya menarik
simpati banyak orang. “Jika mereka belum tertarik gagasan kita, biarlah
sekurang-kurangnya mereka tertarik kepribadian kita,” katanya. Dengan
alasan yang sama, Wahid menghormati setiap tamunya, yang latar
belakangnyaberagam. Meski tak merokok, ia menyimpan korek api di kantong
jas atau celana untuk membantu tamunya yang akan merokok.Kesibukan
Wahid menerima tamu tak berhenti, meski tak lagi menjadi menteri dan
mendiami rumah di Jalan Matraman Ray, kini kantor Wahid Institute.Wahid
dan keluarganya rajin melakukan salat magrib berjemaah, dilanjutkan
tadarusan, membaca Al-Quran. Anak-anaknya bergantian membaca kita suci
sampai waktu isya. Meski sibuk, perhatian Wahid kepada keluarganya tak
luntur.
Hampir setiap hari iamenyempatkan diri
menyisir rambut Aisyah sebelum pergi sekolah di Kebaktian Rakyat
Indonesia Sulawesi.Kadang-kadang Wahid menyetir sendiri mobil Buick dan
mengantar anak-anaknya ke sekolah di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta.
Kebiasaan itu diteruskan ketika anak-anaknya pindah ke Sekolah Dasar
Perwari di Salemba Tengah. Setiap akhir pekan ia mengajak istri dan
anak-anaknya jalan-jalan. Biasanya ke taman-taman di Ibu Kota. Bila ke
luar Jakarta, wisata keluarga diselingi mampir ke rumah kolega atau kiai
setempat. “Menjaga silaturahmi,” ujar Gus Solah.(Diambil Dari Buku Wahid Hasyim untuk Republik Tebuireng)
Comments
Post a Comment