Tanpa
Pancasila, China dan India bisa maju.” Ungkapan itu diucapkan seorang
brigjen (Purn) kepada sejumlah jenderal (Purn) lain dalam dialog tentang
kondisi bangsa kita yang tidak kunjung membaik setelah reformasi
berjalan delapan tahun.
Hampir
semua peserta dialog berpendapat, kita hanya akan bisa keluar dari
kondisi menyedihkan ini bila kembali ke UUD 45 yang asli dan Pancasila.
Kawan itu
mengatakan, China, India, Korsel, dan banyak negara lain tidak punya
Pancasila tetapi mereka telah membuktikan, mereka bisa maju dalam banyak
bidang kehidupan, teknologi, pendidikan, industri, dan ekonomi. Mungkin
banyak pihak yang punya pendapat sama. Apakah pendapat kawan itu benar?
Kurang tepat
Pendapat
kawan itu kurang tepat. Yang tepat, tanpa bicara Pancasila banyak negara
bisa mencapai kemajuan. Tetapi mereka menerapkan dan mengamalkan konsep
“negara-ideal mereka”. Mereka tidak sibuk bicara masalah ideologis yang
terlalu abstrak, tetapi menerapkan cita-cita negara ideal yang akan
dibentuk, ke dalam kehidupan nyata.
Mungkin
hanya sila Ketuhanan yang tidak terkandung dalam konsep negara ideal
dari negara-negara itu. Sila lain, saya yakin, tercakup dalam konsep
negara ideal mereka, meski dalam rumusan lain. Prinsip persatuan
nasional, keadilan sosial, dan kemanusiaan tentu tercakup sesuai
persepsi negara itu pada suatu era tertentu sejalan dinamika sosial
politik negara itu dalam perjalanan kesejarahannya, tentu dengan
memerhatikan tuntutan perkembangan global.
Apalagi
prinsip kerakyatan atau demokrasi, setiap negara punya pendapat sendiri
tentang demokrasi macam apa yang mereka butuhkan pada era tertentu. Kini
banyak wacana tentang adanya pilihan antara demokrasi dan ekonomi. Kita
masih ingat pernyataan Dr Mahathir Mohamad, Malaysia mengutamakan
pembangunan ekonomi lebih dulu sebelum pembangunan demokrasi.
Adapun
kita di era Reformasi lebih mengutamakan pembangunan demokrasi dibanding
pembangunan ekonomi. Kecenderungan itu terjadi karena Orde Baru lebih
mengutamakan pembangunan ekonomi dibanding politik, yang berakibat
tersumbatnya aspirasi rakyat sehingga demokratisasi menjadi tuntutan
utama reformasi.
Ironinya,
kita melihat demokrasi yang lebih bersifat prosedural daripada
substansial. Kita saksikan anggota DPR lebih mengutamakan diri dan
partai dibanding pemilihnya.
Sila
Keadilan Sosial sungguh diabaikan dengan kenyataan adanya kesenjangan
antarwilayah barat dan timur, kesenjangan antara desa dan kota,
kesenjangan yang mencolok antara sekelompok kecil yang kaya dan sejumlah
besar warga miskin.
Over dosis
Itu semua
akibat kebijakan kekuasaan yang sentralistis dan otoriter.
Ketidakadilan itu merusak sendi-sendi dari persatuan nasional. Kekuasaan
sentralistis itu di era reformasi diberi obat otonomi daerah yang
over-dosis yaitu otonomi pada tingkat kabupaten/kota.
Kelima
sila itu tidak kita laksanakan dengan baik. Persatuan Indonesia selalu
didengungkan tetapi syarat utamanya, yaitu keadilan sosial sama sekali
tidak diperhatikan. Tanpa keadilan sosial, sila kemanusiaan terasa hampa
dan hanya menjadi retorika. Keadilan hukum tidak mampu diwujudkan meski
negara kita adalah negara hukum.
Perhatikan
wacana yang berkembang belakangan ini, jika kita bicara tentang
mempertahankan Pancasila, hemat saya asosiasi kita terutama tertuju pada
sila Ketuhanan YME. Tampaknya sila lain terabaikan.
Ironinya,
kita sibuk bicara tentang pentingnya sila pertama, tetapi tidak mampu
menjawab mengapa sila pertama tidak ada bekasnya dalam kehidupan nyata
kita. Korupsi—penyakit kanker kita di era Orde Baru dan amat dilarang
oleh agama mana pun—tidak segera diperangi, hingga penyakit itu terus
menggerogoti dan menjadi ancaman utama eksistensi negara.
Alih-alih
menjadi sesuatu yang membawa berkah, adakalanya terjadi, agama justru
menjadi bencana akibat konflik antaragama. Hal ini juga tidak lepas dari
ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum yang tidak mampu kita
wujudkan.
Pendidikan
yang menjadi syarat utama untuk membangun bangsa, kita abaikan selama
puluhan tahun. Penerapan kelima sila dalam kehidupan nyata harus
dilakukan bersama dengan keseimbangan yang relatif terjaga.
Sekali
lagi ditegaskan, tidak betul bahwa China, India, Korsel dan banyak
negara lain bisa maju tanpa Pancasila. Mereka punya “Pancasila” sendiri,
yaitu prinsip-prinsip dasar tentang negara ideal yang mereka
cita-citakan. Bedanya, kita hanya bicara tentang Pancasila, sedang
mereka tidak membicarakannya, tetapi menerapkannya dalam kehidupan
nyata.
Oleh : Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid
Comments
Post a Comment